Sanggupkah kita mengabdi..???
Sanggupkah Kita Mengabdi Pada Kemanusiaan?
Oleh: Abdurrahman Wahid
Ketika penulis menuju ke kota Kampen di utara negeri Belanda, Senin
(8/9/03) lalu, dengan tujuan ke sebuah restoran di kota kecil itu, guna
menghormati pertemuan tahunan yang diselenggarakan oleh Yayasan Kolff.
Prof. Dr. Kolff yang namanya dijadikan nama yayasan tersebut dan kini
tinggal di Cleveland (AS) itu- adalah seorang Belanda yang hidupnya
diabdikan kepada kemanusiaan: membuat organ-organ sintetis/buatan untuk
menolong manusia. Pada Perang Dunia (PD) II, ia memulai pengembangan
jantung buatan (artificial heart) di Negeri Kincir Angin
tersebut. Hal itu diteruskannya seusai PD II, hasilnya seorang wanita
berjantung cangkokan berhasil “diselamatkan” dan selama delapan tahun
berikutnya mampu menggunakannya dengan baik. Namun, si wanita berjantung
cangkokan tadi menceraikan suaminya dan ternyata pada awal 1953 ia
dipenjara karena menjadi mata-mata NAZI. Ia meninggal dunia dalam proses
pengadilan atas dirinya.
Kemudian Prof. J. Van Noordwijk, mengembangkan ginjal cangkokan (artificial kidney),
yang menjadi “paten” -nya hingga saat ini. Ia adalah teman karib Prof.
Kolff dan hidup hingga umur 80-an. Ternyata Kolff tidak kerasan hidup di
negeri kincir angin tersebut dan pindah ke AS. Di sana ia mulai
mengembangkan mata buatan (artificial eye), bersama-sama dengan
Dobell, ahli teknik yang tinggal di Lisabon (Portugal). Setelah Dobell
dipotong kakinya karena penyakit gula beberapa tahun lalu dan kini
sedang sekarat, maka temuan-temuan Dobell itu diserahkan pada
Universitas Ohio di AS, secara bersama-sama dengan temuan Kolff. Kolff
sendiri tidak menghentikan penelitian-penelitiannya, walaupun ia kini
sudah berusia 92 tahun. Bahkan karena tidak mau menghentikan
penelitian-penelitiannya, sang istri yang hampir seusia itu, meminta
dicerai Kini mereka berpisah, sehingga Kolff dapat melanjutkan
penelitianya tersebut. Hasil penemuan Kolff itu oleh Dr. Antonez
diterapkan dalam praktek atas para pasiennya.
Apa yang diperlihatkan oleh “kegigihan” kedua orang peneliti di atas,
merupakan bukti bahwa ketegaran mengadakan penelitian dan pengembangan
masih dilanjutkan orang hingga saat ini. Tokoh-tokoh tersebut adalah
Antony Van Leeuwenhoek yang mendapatkan kuman-bakteri dalam
penelitian-penelitian yang dilakukannya beberapa abad yang lalu atau
kedua bersaudara Wright yang menemukan pesawat terbang pada awal abad
yang lalu, dalam percobaan-percobaan “aero-dinamika” yang mereka
lakukan. Semangat yang mereka perlihatkan itu sebagaimana juga
dipertontonkan para penemu di atas, adalah contoh dari kegigihan orang
untuk mengabdi kepada kemanusiaan.
Makan malam tahunan untuk menghormati semangat Prof. Kolff di atas,
adalah upaya-upaya keluarga dan kawan-kawannya untuk melestarikan
sumbangannya yang sangat besar bagi pengabdian kemanusiaan yang
diyakininya. Upacara sangat sederhana untuk memuji semangat agung
seperti itu terasa sangat membekas bagi penulis, yang jarang melihat
pengabdian kemanusiaan demikian gigih seperti itu. Penghargaan yang
diterima Kolff itu memang sudah layak diberikan, karean itu merupakan
penghargaan kepada semangat mengabdi kepada kemanusiaan, yang terdapat
dalam sejarah umat manusia di berbagai bidang kehidupan.
*****
Lalu, bagaimanakah halnya dengan sejumlah orang penemu “teknologi
terapan”? Beberapa negara menyediakan hadiah dan dana bagi penelitian
dan penemuan di berbagai bidang. Di samping negara, dunia usaha juga
tercatat sebagai pengguna teknologi baru dalam perebutan pasar yang
sangat sengit. Selama bertahun-tahun Jepang mengarahkan para penemuannya
ke arah pencarian model dan teknologi baru di hampir semua bidang.
Tidak heranlah jika kemudian usaha-usaha Jepang seperti Panasonic dan
Sony dalam bidang elektronik, serta Fuji dalam optika membawa negeri
Sakura itu ke jenjang tertinggi, alias menjadi negara nomor satu dalam
bidang tersebut di pasaran dunia. Namun hal itu justru membuat Jepang
“tertinggal” oleh negara-negara AS dan negara Eropa Barat dalam
pengembangan teknologi terapan, yang ditunjukan dengan banyaknya
temuan-temuan teknologi terapan di negara-negara tersebut.
Hadiah Nobel untuk kimia, fisika dan kedokteran tidak pernah didapat
Jepang, walaupun setelah bertahun-tahun menghabiskan sangat besar dana
penelitian dan pengembangan teknologi terapan (applied technology)
itu . Memang Jepang dalam jangka pendek sanggup mengejar ketertinggalan
di bidang itu, tetapi dalam pengembangan teknologi umum hampir-hampir
tertinggal dan tidak dapat mengejar. Baru tahun lalu, Jepang dapat
mengejar ketertinggalan mereka secara sedikit, ketika seorang teknolog
Jepang di sebuah perusahaan dan seorang Profesor bersama memenangkan
hadiah Nobel untuk bidang fisika, dengan “hanya” memenangkan hadiah itu
dalam bidang “teknologi murni” yang tidak ada hubungan secara
langsung dengan produk-produk terapan apapun. Apakah itu akan berarti
munculnya pendekatan ilmiah yang baru di Jepang? Ini masih merupakan
tanda tanya besar. Sedangkan kecakapan “melempar” produk-produk
teknologi terapan itu, harus ditentukan oleh para pengarah ekonomi
Jepang pada umumnya.
Sangat mengherankan, sikap Jepang dalam pengembangan teknologi
tersebut. Dengan gigih, rakyat negeri Sakura itu berada di belakang
para ahli moneter mereka, seperti Sakakibara dan Koruda untuk melawan
para “penentu kebijakan” di lingkungan Dana Moneter Internasional/IMF (International Monetary Fund), yang selalu memerankan kepentingan sejumlah negara yang kaya raya atau perusahaan-perusahaan raksasa seperti International Business Machine (IBM).
Setelah menguasai beberapa bidang teknologi dan membanjiri pasaran
dunia yang terkait dengan produk-produk negeri Sakura itu, maka
perusahaan raksasa AS itu berhasil mengisolir Jepang . Inilah yang
membuat para penentu kebijakan ekonomi dan industri di Jepang memulai
upaya “banting setir” mereka di bidang “teknologi murni” (pure technology)
tersebut. Apakah ini akan berlanjut menjadi “perang tanding” di bidang
teknologi pada umumnya, antara Jepang di satu pihak dan AS plus Eropa
Barat di masa depan, masih belum kita ketahui saat ini. Namun menjadi
jelas bahwa pengembangan “teknologi murni” oleh sebuah masyarakat,
dapat berhadapan dengan pengembangan “teknologi terapan” dalam sekala
besar.
*****
Sudah tentu, masyarakat atau negara sedang berkembang ( developing country and society)
saat ini hanya dapat bersikap “bengong saja”, tanpa dapat mengambil
inisiatif apa-apa. Untuk sementara ini, mereka hanya dapat membeli
produk-produk berkualitas rendah dari Tiongkok, yang juga membanjiri
pasar dunia. Namun, penambahan pendapatan per-kapita rata-rata
pertahun (average per capita annually) RRT, mengharuskan mereka
untuk segera mengambil keputusan mengenai pilihan teknologi tersebut
dalam waktu dekat ini. Ini berarti semakin menciutnya peranan absolut
dari pasar dalam negeri yang terikat dengan pemenuhan pasar yang ada
dengan barang-barang yang murah itu, dan bertambah mekarnya
produk-produk berkualitas tinggi. Ini ditunjukkan dengan kegagalan
produk-produk RRT merebut pasar sepeda motor dan elektronik di
negara-negara ASEAN, alasan utamanya selalu hanya satu, kualitas rendah!
Jika pilihan dalam memproduksi barang-barang dengan menggunakan
teknologi -dikaitkan pula dengan semakin bertambah besarnya kesadaran
untuk melakukan barter antara negara-negara berkembang sesuai dengan
kebijakan PM. Thailand Taksin Shinawatra-, maka akan tampak betapa
besarnya keputusan yang harus diambil mengenai penggunaan teknologi di
masa depan, baik itu “teknologi murni” atau “teknologi terapan”.
Pilihan teknologi yang diambil itu akan menentukan jenis industri yang
akan dikembangkan melalui sebuah sistem ekonomi. Berarti ada pilihan
demi pilihan teknologi yang ditawarkan oleh negara-negara ekonomi maju
yang baru. Walaupun pada saat ini Indonesia masih berada dalam krisis
ekonomi yang berkepanjangan, tapi sebentar lagi ia akan menjadi sebuah
negara “kebangkitan ekonomi” (new economic countries). Hal itu akan
terjadi, karena penulis percaya dan yakin, Indonesia akan mampu sebentar
lagi membenahi KKN dan mengatur sumber-sumber alam yang dimilikinya
(hasil hutan, hasil tambang dan eksploitasi kekayaan laut).
Kita akan menerima investasi/penanaman modal luar negeri, yang akan
masuk dalam jumlah besar, jika kita dapat membenahi kepastian hukum
(legal certainty) melalui perubahan dalam pelaksanaan Undang-Undang yang
baru –yang menurut penulis akan terjadi setahun dua tahun lagi. Karena
para investor ingin menanamkan modal di Indonesia , dan turut mengolah
hasil-hasil dan sumber-sumber alam itu melalui cara yang benar, maka
masa depan industri di negara kita juga sangat baik prospeknya. Inilah
yang membuat mengapa penulis mengemukakan keharusan memilih antara
“teknologi terapan” di hadapan perkembangan secara cepat dari teknologi
murni. Pilihan berat yang harus dilakukan, karena itu menyangkut masa
depan kita sebagai bangsa dan negara. Akankah kita menjadi seperti RRT
yang mengembangkan pasar dunia serba terbatas dengan produk-produk
berkualitas rendah, ataukah seperti Taiwan dengan produk-produk
berkualitas tinggi yang semakin lama semakin membesar pasarnya? Sesuatu
yang mudah dikatakan, namun sulit untuk dilaksanakan bukan?
Memorandum, Jakarta, 15 September 2003
sumber : www.gusdur.net